Senin, 02 Mei 2016

PENGERTIAN PERIKATAN



PENGERTIAN PERIKATAN

NAMA                        : ROMI FACHRUDDIN ACHMAD
KELAS                       : 2EB28
NPM                           : 29214792
Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum.

Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Objek hubungan itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak yang wajib memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur.[1][3]
·         DASAR  Hukum Perikatan
Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang. Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III (Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal 1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam bab-bab bersangkutan.
            Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :
a.    Tidak dilarang Undang-Undang
b.   Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c.    Tidak bertentangan dengan kesusilaan
        Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber peikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatana orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a.    Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b.    Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :
1.     Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2.     Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3.     Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4.     Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum


Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan satu demi satu berikut ini :
1.      Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran uang dan penyerahan benda.
2.      Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ).
3.      Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti, pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti, pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama lenyap.
4.      Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap.
5.      Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6.      Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
7.      Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna benda itu dia juga akan bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun sudah berada di tangn kreditor.

8.      Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif. Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable).
9.      Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void) sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10.  Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang.


http://saifulanamlaw.blogspot.co.id/2013/08/asas-asas-hukum-perikatan-yang-harus.html
http://sina-na.blogspot.co.id/2015/04/makalah-hukum-perdata-tentang-perikatan.html



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERKEMBANGAN ETIKA BISNIS

A.      PENGERTIAN ETIKA MENURUT PARA AHLI Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah...