SEPULUH KARAKTER UTAMA YANG HARUS DIMILIKI UNTUK MENJADI
AKUNTAN HADAL
1.
Akurat
Bicara akuntansi sudah pasti bicara
2 hal, yaitu: (a) angka; dan (b) uang.
Angka harus akurat. Penggunaan uang
(orang lain/pemilik usaha) harus akuntabel—bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga
pekerjaan akuntansi esensinya adalah mengakurasikan dan mengakuntabelkan angka
uang yang dipergunakan dalam aktivitas usaha.
Dari masa sekolah hingga bekerja,
orang akuntansi dididik untuk menjadikan akurasi sebagai nilai yang tidak boleh
dikompromikan. Nyaris tidak ada ruang untuk tidak akurat. Ketidakakuratan
adalah cacat. Ketidakakuratan adalah masalah. Ketidakakuratan adalah kegagalan.
Misalnya: akuntansi hanya mengakui
transaksi yang didukung oleh bukti transaksi yang valid. Dan angka yang diakui
harus sama persis dengan yang tertera dalam bukti transaksi—hingga ke digit
desimal di belakang koma.
Tuntutan ini membuat orang akuntansi
menjadi terbiasa menggunakan akurasi sebagai salahsatu alat takar kualitas. Dan
sebaliknya, menjadi tidak terbiasa menerima hal-hal yang tidak akurat.
Di sisi kehidupan manapun, akurasi
adalah nilai positive. Akurasi menimbulkan trust (kepercayaan) dari pihak
lain—baik di lingkungan bisnis maupun lingkungan sosial masyarakat. Sesuatu
yang akurat jauh lebih dihargai dibandingkan yang kurang atau tidak akurat.
2.
Detail
Akurasi membutuhkan detail. Tanpa
detail yang cukup, akurasi tidak akan tercapai. Setiap pekerjaan akuntansi,
yang manapun, selalu detail.
Misalnya: Beras 3 truck datang dari
supplier tidak bisa dicatat dengan “Persediaan Beras 3 Truck Rp 200,000,000”.
Tidak bisa. Harus rinci—dengan dengan menggunakan satuan ukur (unit
measurement) terkecil. Jika satuan ukur terkecilnya beras adalah kilogram, maka
satuan yang digunakan (dalam perhitungan maupun pencatatan) harus
kilogram—tidak boleh “truck”. Untuk emas yang satuan ukur terkecilnya adalah
gram, maka harus diakui dengan satuan gram.
Bagi orang akuntansi, sesuatu yang
tidak detail cenderung tidak akurat—thus otomatis tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Itu sebabnya mengapa orang akuntansi cenderung terbiasa terhadap hal-hal yang
sifatnya detail dan tidak terbiasa dengan yang sebaliknya.
“Attention to detail”
selalu bagus—dibandingkan generalisasi—di sisi kehidupan manapun, baik dalam
lingkungan bisnis maupun sosial masyarakat. Di lingkunga bisnis misalnya,
keputusan yang diambil dengan menggunakan backup data yang detail cenderung
lebih tepat dibandingkan yang menggunakan dasar pertimbangan aggregate
(bersifat general). Dan di lingkungan sosial masyarakat, dalam banyak kasus,
generalisasi adalah sesuatu yang kurang dihargai.
3.
Logis
Meskipun banyak bekerja menggunakan
angka, pada kenyataannya akuntansi bukanlah ilmu pasti (exacta)—banyak
menggunakan prinsip dan asumsi, namun masih dalam kisaran logis.
Dalam memahami persoalan (pekerjaan)
akuntansi, orang akuntansi sendiri tidak sepenuhnya kaku, bisa menerima hal-hal
yang masih dalam kisaran logis, tetapi tidak untuk sesuatu yang tidak logis.
Itu sebabnya mengapa orang
akuntansi, dalam kesehariannya, adalah orang-orang yang lebih banyak
menggunakan logika dibandingkan hal lain. Orang akuntansi tidak mudah menerima
hal-hal yang tidak masuk akal.
Logis adalah nilai positive dalam
dimensi kehidupan manapun, baik dalam lingkungan bisnis maupun sosial
masyarakat. Di lingkungan bisnis misalnya, input dasar pengambilan-keputusan
minimal harus logis, tidak bisa menggunakan asumsi dan pertimbangan ngawur. Dan
di lingkuan sosial masyarakat, logis lebih bisa diterima dibandingkan tak logis
(ngawur).
4.
Terukur
Logika yang masih bisa diterima
dalam akuntansi adalah logika yang terukur. Sehingga bisa dibilang bahwa,
logika yang terukur (di atas kertas dan dalam pelaksanaan) adalah kualitas
terendah yang bisa ditoleransi, dalam akuntansi. Segala sesuatunya, jika tidak
bisa exact, minimal harus logis dan terukur.
Logika yang dianggap terukur oleh
akuntansi adalah logika yang tertuang dalam prinsip dan asumsi yang sudah
melalui pengujian yang cukup, lalu disepakati bersama dan diterima oleh
umum—dalam literature disebut ‘prinsip prinsip akuntansi berterima umum”
(PABU). Bukan prinsip dan asusmi ngawur. Harus masuk akal—baik secara teoritis
maupun praktikal.
Terlebih-lebih tugas utama seorang
akuntan, di lingkungan bisnis, adalah mengukur kinerja perusahaan dari aspek
keuangan. Maka keterukuran adalah nilai minimal yang bisa diterma.
Untuk bisa melaksanakan fungsi utama
sebagai pengukur, khsusunya di lingkungan bisnis, seorang akuntan dituntut
untuk berpikir, berbicara, bersikap, dan bertindak, serba terukur. Konkretnya:
seorang akuntan berpikir, berbicara, lalu melakukan tindakan berdasarkan fakta
yang dibackup oleh data. Jika tidak ada data, minimal menggunakan logika yang
terukur, yaitu: standar akuntansi dan undang-undang pajak.
Di lingkungan sosial, orang-orang
akuntansi juga cenderung berpikir, berbicara, dan bertindak secara terukur
(kecuali jika sedang berseloroh). Selalu menggunakan dasar rujukan pasti
(hukum, norma, etika, budaya, dan nilai-nilai agama) yang berlaku di
lingkungannya.
5.
Konsisten
Akuntabilitas, disamping butuh
akurasi, detail, kelogisan dan keterukuran, juga membutuhkan konsistensi. Tidak
bisa naik-turun. Tidak bisa ‘ngalor-ngidul’, semuanya harus dilakukan secara
konsisten:
- Prosedur akuntansi (pengkuran, pengakuan dan pelaporan) harus konsisten
- Metode apapun yang digunakan harus konsisten
- Satuan ukur terkecil yang digunakan harus konsisten
- Format penyajian laporan harus konsisten
- Dan lain sebagainya, semua harus konsisten
Tuntutan konsistensi tersebut, jelas
atau tersamar, terefleksi dalam pola-pikir dan perilaku orang-orang akuntansi
itu sendiri—di langkungan manapun berada; mereka cenderung menunjukan
pola-pikir dan perilaku yang konsisten. Tidak mencla-mencle. Tidak
plintant-plintut.
Sekali bilang tidak boleh menggunakan
fasilitas kantor, maka selamanya tidak boleh. Sekali tidak menerima permintaan
belanja tanpa PO, selamanya tidak akan mau menerima. Sekali bilang tidak bisa
cash bon, maka selanya tidak akan bisa.
6.
Disiplin
Tanpa disiplin tinggi, konsistensi tidak
akan terjadi. Konsistensi, butuh disiplin tinggi:
- Tidak menyepelekan fakta (data) sekecil apapun;
- Taat pada prosedur dan kebijakan perusahaan;
- Taat pada aturan pemerintah;
- Taat pada standard an kode etik;
- Taat pada prinsip yang berterima umum dan praktek yang lazim
Disamping akurasi dan konsistensi,
laporan yang dibuat melalui proses akuntansi—yaitu laporan keuangan—harus
relevan, disajikan tepat waktu, tidak kedaluarsa. Untuk bisa memenuhi target
waktu penyampaia laporan keuangan, juga memerlukan disiplin yang tinggi.
Secara keseluruhan, pekerjaan
akuntansi tergolong pekerjaan yang membutuhkan disiplin yang tidak main-main.
Tidak tahu di tempat lain, sejauh
yang saya lihat; anak akuntansi (baik yang masih belajar maupun yang sudah
bekerja) memanglah disiplin. Dan itu adalah karakter yang positive di
lingkungan manapun, terlebih-lebih di lingkungan bisnis. Tak ada satu
perusahaan (organisasi) pun yang suka terhadap personnel yang tidak disiplin.
7.
Skeptis
Dari karakter pertama hingga kelima
di atas, jelas dan tak diragukan lagi, menjadi skeptis adalah sebuah
konsekwensi yang tidak bisa dihindari. Untungnya, sekpetis adalah salah nilai
yang positive (bukan negatif).
Bahkan, dalam akuntansi, menjadi
skeptis adalah sesuatu yang dianjurkan—saya pribadi malah mengharuskan, jika
ingin menjadi akuntan yang handal harus memiliki level skepticism yang tinggi.
Berbeda dengan sinis (cynic),
skeptik dalam hal ini maksudnya adalah:
- Tidak mudah mengatakan iya – Orang akuntansi, secara informal, memang tidak diperkenaankan untuk mudah mengatakan “iya”. Standar minimal yang digunakan adalah “apa iya?”. Selanjutnya dicari tahu, kumpulkan data dan fakta sebelum mengubah “apa iya?” menjadi “iya” atau “no way”.
- Tidak mempercayai infomasi (apapun bentuknya) sebelum melakukan verifikasi – Khususnya di wilayah auditing, para auditor—baik eksternal maupun internal—diwajibkan untuk hanya mempercayai data dan fakta (bukti transaksi yang valid). Di dalam perusahaan, akuntan hanya boleh mempercayai data dan informasi setelah diverifikasi validitasnya.
Orang akuntansi, secara profesi
memang wajib skeptis; tidak mudah mengatakan iya; dan tidak mudah mempercayai
informasi tanpa data dan fakta.
8.
Sederhana
Sederet nilai kualitas (mulai dari
akurasi hingga konsistensi), belum jaminan pasti untuk bisa mewujudkan kondisi
akuntabel. Untuk itu akuntansi menganjurkan agar para akuntan mengedepankan
kehati-hatian dalam menjalankan proses akuntansi—konservatif (conservatism).
Karena laporan keuangan adalah
bentuk pertanggungjawaban manajemen (pengelola) perusahaan terhadap pemilik
usaha (para pemegang saham), maka yang dimaksud dengan kehai-hatian dalam
akuntansi adalah:
- Lebih baik mengakui laba yang lebih kecil dari kenyataannya, dibandingkan lebih besar (jika diturunkan, jadinya: akui potensi beban/biaya tapi jangan potensi pendapatan)
- Lebih baik mengakui aset lebih rendah dari kenyataannya, dibandingkan lebih besar. Sebaliknya lebih baik mengakui kewajiban lebih tinggi dari kenyataannya, dibandingkan lebih rendah.
Jika dipandang dari akuntan
independent, prinsip di atas adalah wujud dari kehati-hatian (melindungi diri
dari risiko lebih mengakui nilai perusahaan klien). Tetapi jika dipandang dari
akuntan yang bekerja di dalam perusahaan, itu adalah wujud dari
kesederhanaan—simplicity. Lebih baik nampak lebih kecil daripada nampak lebih
besar dari aslinya.
Kesederhanaan juga nampak dari
penampilan dan gaya hidup para akuntan. Anda tidak akan pernah menemukan
akuntan yang berpenampilan serba “wah”—meskipun sesungguhnya, secara finansial,
mereka mampu untuk itu.
9.
Jujur
Tentu jujur adalah hal terpenting
dalam mewujudkan akuntabilitas.
Jika hal pertama hingga ke 8 di atas
sudah terwujud, otomatis kejujuran terwujud dengan sendirinya. Bila tidak, maka
minimal, kejujuran harus ada. Bisa jadi akurasi dan yang lain-lainnya tidak
bisa terwujud karena kondisi tertentu. Tetapi kejujuran harus ada.
Boleh dikatakan bahwa, kejujuran
adalah hal paling terakhir yang bisa dipegang dari seorang akuntan—pada saat
akurasi, detail, kelogisan, keterukuran, konsistensi dan lain-lainnya, terpaksa
tidak bisa diwujudkan. Seburuk-buruknya kinerja seorang akuntan, minimal dia
harus jujur. Tanpa itu, maka habislah karirnya.
Konkretnya, laporkan kondisi
keuangan perusahaan apa adanya, tanpa ada niat melakukan kecurangan—baik atas
nama sendiri, kelompok, maupun perusahaan itu sendiri.
10.
Gigih
Meskipun tidak serumit membuat mesin
roket, pekerjaan akuntansi tergolong tidak sederhana dan bersifat
teknikal—mengandung kerumitan yang memerlukan pembelajaran khusus untuk bisa
menguasainya. Tidak bisa instant.
Untuk bisa memahami dan menjalankan
pekerjaan akuntansi dengan baik, dibutuhkan level kegigihan yang ekstra. Dalam
banyak kasus, khususnya di lingkungan KAP, bekerja dalam jam yang panjang
adalah sesuatu yang lumrah.
Disamping teknikal, akuntansi juga
bersifat dinamis, terus mengalami perubahan—mengikuti perkembangan lingkungan
bisnis. Memilih akuntansi, harus siap untuk terus belajar (sambil bekerja)
sepanjang waktu—selama masih mau berkarir di akuntansi.
Kegigihan, kemauan dan daya juang
yang tinggi, adalah nilai positive, dimanapun—syarat mutlak yang dibutuhkan
untuk sukses dalam menjalankan profesi apapun.
http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/10/inilah-10-karakter-dasar-untuk-jadi-akuntan-handal/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar